ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN

1.        Arsitektur Sebagai Cerminan Budaya
          Arsitektur sebagai budaya material tidak hanya sekedar menyusun elemen-elemen material bangunan menjadi bangunan secara utuh, akan tetapi arsitektur juga berperan pada pembentukan ruang-ruang sosial dan simbolik, sebuah “ruang” menjadi cerminan dari perancang dan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
          Sebagian besar studi arsitektur hanya melihat pada bentukan arsitektur yang monumental dan formal (istana, amphiteater, dst), belum banyak yang juga mempelajari ”arsitektur rakyat”. Diantara arsitek, Bernard Rudofsky (1964) adalah seorang yang dikenal sebagai promotor dari apresiasi terhadap estetika yang asli, original, bahkan juga organis, beliau menyebutnya sebagai ”Architecture Without Architect”. Sehingga sejak 20 tahun lalu studi tentang indigenous architecture mulai dikembangkan yang bekerjasama dengan para antropolog.
          Studi ini tidak hanya akan terbatas pada beberapa daerah yang mempunyai budaya asli saja, akan tetapi seluruh dunia dan pada seluruh kalangan. Sebut saja Le Corbusier, seorang pelopor arsitektur modern, yang menyatakan bahwa A house is a Machine to live in, seorang yang mendobrak seluruh dunia dengan jargon fungsionalismenya (segala sesuatu akan tampak indah jika berfungsi dengan baik). Bagaimanapun ekspansifnya Le Corbu akan tetapi semuanya tidak lepas dari perilaku dan sistem sosial yang dianutnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur tidak pernah netral, akan tetapi akan selalu berhubungan dengan pengguna, budaya, serta konstruksi sosial yang ada dalam suatu masyarakat.

2.        Arsitektur Dan Perubahan Kebudayaan
          Sebagaimana aspek budaya yang lain, arsitektur senantiasa berubah dan mengalami evolusi sepanjang masa. Namun demikian, terjadinya perubahan tidaklah merata pada setiap kelompok masyarakat/bangsa.

Dikotomi kebudayaan dalam Arsitektur
We may say that monuments-buildings of the grand design tradition-are built to impress either the populace with the power of the patron, or the peer group of designers and cognoscenti with the cleverness of the designer and the good taste of the patron. The folk tradition, on the other hand, is the direct and unself-conscious translation into physical form of a culture, its needs and values –as well as the desires, dreams, and passions of the people. It is the world view writ small, the “ideal” environment of a people expressed in buildings and settlements, with no designer, artist, or architect with an axe to grind (although to what extent the designer is really a form giver is a moot point). The folk tradition is much more closely related to the culture of the majority and life as it is really lived than is the grand design tradition, which represents the culture of the elite. The folk tradition also represents the bulk of the built environment. (Amos Rapoport, 1969)
          Arsitektur sebagai salah satu proses dan produk budaya material, ternyata juga mengalami dikotomi sebagaimana diungkapkan oleh Amos Rapoport diatas. Budaya tinggi dalam arsitektur diwakili oleh bangunan-bangunan, seperti monumen-sebagai bangunan tradisi desain yang agung-yang merupakan representasi dari kekuasaan dan kejeniusan individual sang arsitek. Sebaliknya, budaya masyarakat merupakan ekspresi yang berhubungan dengan budaya mayoritas, tanpa adanya seorang desainer, seniman atau arsitek. Akan tetapi ”hidup” dalam masyarakat lebih dari tradisi desain yang agung yang merepresentasi budaya para elite. Budaya massa dalam arsitektur ini seringkali didefinisikan antara lain sebagai arsitektur primitif, arsitektur vernakular, architecture without architect, arsitektur tradisional, regional culture ataupun juga arsitektur pinggiran. Sedangkan budaya tinggi diwakili oleh arsitektur non-tradisional, arsitektur world culture, universal civilization.
Beberapa dikotomi dua kutub budaya ini akan lebih jelas, jika kita jabarkan satu persatu sebagai berikut:

Arsitektur vernacular dan arsitektur non-vernacular
Arsitektur vernakular sebagai representasi budaya massa seringkali disamakan dengan ”architecture without architect” yang memberi kesan bahwa arsitektur vernakular bukanlah porsi kerja seorang arsitek. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi porsi pembahasan arsitektur vernakular dalam mainstream akademik, terkecuali harus dibahas dalam suatu forum ”tersendiri”. Pun, forum-forum semacam ini belum banyak mampu memberi warna pada kurikulum pendidikan arsitektur S1 di Indonesia. Mata kuliah-mata kuliah teori dan sejarah arsitektur masih terlalu didominasi oleh arsitektur budaya tinggi dengan pengenalan ”monumen-monumen” arsitektur sepanjang sejarah. Bahkan jika kita melihat timeline yang ditawarkan mulai dari arsitektur Yunani, Romawi, hingga Post-modern, sedikit sekali yang membahas tentang arsitektur vernakular ini. Kalaupun ada, masih terbatas pada pengetahuan arsitektur nusantara, itupun didominasi oleh budaya tinggi arsitektur nusantara.

Regional culture dan universal civilization
Universal civilization yang diwakili oleh modernisme dewasa ini menumpukan harapan pada kemampuan nalar-rasional dan kemampuan mesin-teknologis yang acapkali semakin meminggirkan mereka yang tidak berada dalam arus utama ini. Regional culture dipandang sebagai sesuatu “yang lain” dan tidak “universal”. Tidak perlu kita ragukan lagi, modernisme telah menjadi warna dominan produk-produk arsitektur di abad 20-21 ini. Kota-kota besar kita didominasi bangunan-bangunan international style yang menafikan regional culture masing-masing. Dunia akademik pun seakan tidak bergeming dalam hal ini. Mainstream yang terbentuk masih saja mengekor universal civilization yang dianggap sebagai agen pembaharuan yang progresif sementara regional culture bersifat sementara.

Arsitektur tradisional dan arsitektur non-tradisional
Arsitektur tradisional yang merupakan representasi dari tradisi, nilai-nilai yang dianut, kepercayaan dalam masyarakat, dan lain-lain, sampai saat ini masih berada dalam posisi yang terpinggirkan dalam mainstream akademik. Pengetahuan tentang arsitektur tradisional masih terbatas pada produk jadi dan justru kehilangan ruh tradisionalnya sendiri ketika telah menjadi fix dan cenderung statis, bukannya sebagai ”proses hidup”. Arsitektur Jawa, misalnya yang pada perwujudannya didominasi oleh joglo sebagai budaya tinggi (=adiluhung) dan satunya lagi ”bukan joglo” yang diwakili oleh arsitektur kampung (yang sebenarnya memiliki kekayaan dan keragaman arsitektural yang tinggi dan diikuti oleh mayoritas dalam masyarakat) namun tidak banyak dikaji karena dianggap kurang ”bernilai” atau tidak adiluhung.
Sedangkan arsitektur non-tradisional yang didominasi oleh arus modernisme universal/universal civilization masih menjadi mainstream dominan dalam pendidikan S1 Arsitektur. Apalagi dengan bantuan media, baik literatur, media massa, elektronik, internet, dan lain-lain yang memudahkan kita untuk kapan saja melihat dan mengapresiasinya. Sementara media yang membahas arsitektur tradisional (baca=arsitektur nusantara) masih relatif terbatas. Bahkan sangat minim, dan itupun masih membahas arsitektur semacam joglo, tongkonan, dst yang cenderung elitis dan tidak menyentuh mayoritas masyarakat kita. 


3.        Kebebasan Ekspresi Keindahan Dilatar Belakangi Kebudayaan
Geometri menjadi salah satu ilmu matematika yang diterapkan dalam dunia arsitektur; juga merupakan salah satu cabang ilmu yang berkaitan dengan bentuk, komposisi, dan proporsi. Akan sangat baik jika kita melihat arsitektur tidak hanya keberadaannya pada masa sekarang, namun berbalik ke belakang dan mendalami hakekat berarsitektur sejak jaman primitif – ketika kata arsitektur bukanlah bermakna sebagai sebuah ilmu bangunan melainkan sebagai sebuah kebutuhan bertinggal yang tidak diberi nama.
Arsitektur tradisional menjadi saksi bahwa arsitektur menjadi salah satu ilmu tertua di dunia, yaitu dengan melihat dari adanya kebutuhan bertinggal/bernaung sehingga memunculkan sebuah tempat/wadah bertinggal. Dari titik kebutuhan itu, arsitektur mulai muncul dan lambat laun berkembang menjadi ilmu. Kebutuhan bertinggal adalah kebutuhan primer, sehingga memunculkan sebuah wadah yang mampu menjawab prasyarat untuk berlindung sehari-harinya. Manusia tradisional membuat wadah yang mampu melindungi mereka dari cuaca dan iklim sehingga dapat berkegiatan setiap saat tanpa terganggu oleh alam. Jawaban akan kebutuhan primer ini kemudian berkembang lagi saat manusia sudah mulai mengenal keindahan, dan keindahan berasal dari kebudayaan yang dianut.
Kebudayaan datang dari manusia, ungkapan dirinya, baik dalam hal cara berpikir, cita rasa serta seleranya, yang tentulah bersifat fana dan relatif” (Mangunwijaya, 1995). Keindahan adalah sesuatu yang subyektif. Kebudayaan manusia inilah yang memberikan tolok ukur keindahan pada kelompoknya masing-masing (orang Dayak dan orang Bugis mungkin memiliki pemahaman indah yang berbeda), memberikan sebuah pemahaman keindahan yang diajarkan turun temurun sehingga membentuk pola pikir ’indah’ yang tertentu. Keindahan arsitektur bangunan tradisional adalah salah satu yang berasal dari kebudayaan tersebut.
Arsitektur menjadi salah satu aspek terpenting dalam perkembangan kebudayaan dan adat daerah tertentu, menjadi sebuah simbol keindahan kebudayaannya. Keindahan arsitektur tradisional sebuah daerah adalah sebuah penerapan geometri secara tidak sadar. Berbagai kepercayaan mengajarkan keseimbangan, dualisme, orientasi, dsb. dan diinterpretasikan secara arsitektur pada proporsi dan komposisi bangunannya. Arsitektur dengan proporsi dan komposisi tertentu pada suatu daerah akan dianggap indah berdasarkan kebudayaan yang dianutnya. Ini adalah sebuah penilaian subyektif. Salah satu contoh ialah bentuk atap yang berbentuk limas atau prisma memiliki proporsi simetris. Atap merupakan salah satu prinsip berbudaya yang mengakar pada sebuah suku bangsa, merupakan salah satu analogi dari penyambung antara kehidupan duniawi dan surgawi. Dewa-dewi atau tuhan dipercaya berada di tempat tinggi, tempat tinggi biasanya merujuk pada gunung, yaitu sebuah tempat yang tinggi. Jika dilihat dari bentuknya, dapat dilihat bahwa bentuk atap merupakan adaptasi dari bentuk gunung.
Citra menunjuk pada tingkat kebudayaan sedangkan guna lebih menuding pada segi ketrampilan/kemampuan (Mangunwijaya, 1995: 31). Dan setiap keindahan yang terkandung dalam sebuah obyek hendaklah mendukung nilai gunanya. ”Beauty is not only the spice and luxury of life, but it is a prerequisite of ecological survival because it supports human life in all superior aspects - as ARISTOTLE said, to 'maintain the just measure'" (Langhein, 2001).Citra dan guna tersebut kemudian berujung pada geometri sebagai salah satu pangkal analisisnya.
Keindahan dan kegunaan yang kita bicarakan bukan hanya merujuk pada benda buatan manusia saja, namun berlaku pula pada alam.
"Sayap kupu-kupu, tanduk rusa raja, bulu-bulu cendrawasih, sisik ikan, bahkan sikap perangai dan ulah kelakuan lumba-lumba atau anjing pun tidak cuma berbiologi belaka, menjalankan kelangsungan diri dan mempertahankan diri fisik belaka. Ada unsur-unsur yang ”lebih dari asal berguna”. Bulu-bulu cendrawasih dan bentuk-bentuk rumah binatang koral maupun penampilan rupa ikan-ikan di Laut Banda ”tidak harus” seindah itu. ... Para ahli biologi saat ini yakin: ada sesuatu yang LEBIH daripada soal efisiensi teknis dan fungsional bertahan diri belaka. Ada dimensi ”budayanya”, bahkan ada unsur-unsur yang merupakan bayangan semacam ”nurani” pada diri makhluk binatang." (Mangunwijaya 1995: 6-7)
Hal yang dipaparkan oleh Romo Mangun di atas adalah bukti keindahan alam yang berlaku untuk alam, ada sebuah keteraturan (order) dan keindahan yang tercermin di baliknya. Dan keindahan tersebut memiliki sebuah jalur budaya yang mungkin tidak dapat dimengerti seluruhnya oleh manusia. Sebuah prinsip geometri yang secara terintegrasi menjadi bagian dalam kehidupan alam, geometri alam hanya dapat dianalisis namun tidak dapat diciptakan oleh manusia.
Arsitektur selalu saja berkaitan dengan perihal ’indah’ dan ’tidak indah’, dan tanpa disadari perihal inilah yang berkaitan dengan geometri. Salah satu sub judul pada essay yang ditulis oleh Dr. Joachim Langhein berbunyi ”Proportion as a guiding pattern for establishing beauty”. Disebutkan pula bahwa proporsi memiliki kaitan erat dengan geometri, walaupun prosedur non-geometri juga memungkinkan adanya proporsi. Geometri proporsi menyangkut simetri yang mengontrol aksis pencerminan, rotasi, stretching, dll. Simetri pencerminan merupakan salah satu pola simetris terpenting dalam arsitektur, khususnya pada ornamen arsitektur. 
Saya percaya akan paradigma ‘simetris adalah indah’; tidak ada yang salah dalam pola pikir tersebut. Dan lebih jauh lagi, saya mempercayai bahwa paradigma tersebut muncul karena latar belakang budaya. Bahkan arsitektur tradisional Indonesia juga menerapkan pola simetrikal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkan pada bangunan Romawi, simetris dengan pencerminan; seimbang antara kiri dan kanan; bahkan terdapat pula prinsip orientasi yang berakar pada makro dan mikro kosmos.

Geometri adalah Ekspresi Diri
Ekspresi merupakan sebuah aktivitas yang tidak terbatasi, dan dapat dilakukan oleh setiap makhluk, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan. Ekspresi yang produk ungkapannya adalah cerminan budaya masing-masing individu, memiliki nilai guna dan nilai citra yang mampu dipertanggungjawabkan. Produk dari ekspresi diri tidaklah memiliki batasan-batasan yang harus dipatuhi, namun justru menuntut tolok ukur keindahan itu sendiri.
Geometri yang diterapkan dalam ilmu arsitektur menjadi relevan dengan keberadaan pengertian keindahan berlatar belakang kebudayaan, dan geometri yang didefinisikan sebagai kesatuan antara proporsi dan komposisi. Ketika merancang sesuatu, arsitektural maupun non-arsitektural, manusia berpikir tentang nilai guna dan nilai keindahan. Ketika mengacu pada nilai keindahan, maka pemahaman geometri akan terpikir secara tidak sadar. Ilmu komposisi dan proporsi akan terintegrasi dalam proses tersebut. Pada titik ini saya lalu berpikir bahwa sebenarnya geometri mulai menjadi salah satu bagian dari budaya itu sendiri.
Setiap orang yang melalui proses merancang tersebut akan menghasilkan produk berbeda-beda, walaupun diberikan pemicu yang sama. Keragaman yang muncul pada masing-masing produk merupakan salah satu contoh kecil pada ‘kebebasan berekspresi’. Kebebasan inilah yang kemudian merujuk pada sebuah pemahaman bahwa geometri tidak mengikat kebebasan berekspresi dalam arsitektur. Tidak perlu mempertanyakan adanya paham gaya atau style karena keberadaan gaya atau style bukanlah sesuatu yang muncul dengan tujuan memang untuk menjadi sebuah gaya atau style. Tidak ada produk baroque yang sama persis satu dengan yang lain, begitu pula dengan produk art deco maupun produk klasik. Gaya atau style muncul karena kemiripan penerapan budaya pada arsitektur sehingga memunculkan klasifikasi tertentu.
Pada akhirnya, maka kita akan kembali pada hakekat berarsitektur. Romo Mangun dalam bukunya Wastu Citra menulis demikian: “Berarsitektur ialah berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan dan suasana, seudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan, dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik”. Arsitektur yang indah adalah arsitektur yang mempedulikan nilai gunanya, dengan nilai keindahan sebagai tingkat spiritual di dalamnya. Bukanlah sebagai produk yang hanya dipandangi sebagai “patung”, namun sebagai sesuatu yang dapat diselami makna maupun ke-tiga dimensi-annya (atau bahkan hingga dimensi ke-empat). Geometri tidak pernah mengikat kita untuk mengekspresikan keindahan, justru memberikan kebebasan berbahasa dengan ruang, garis, bidang, maupun material.




Referensi
Hersey, George L. Architecture and Geometry in the Age of the Baroque. Chicago and London: The University of Chicago Press
Mangunwijaya, Y. B. (1995). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ellen, Roy. The Cognitive Geometry of Nature A contextual Approach, dalam P. Descola and G. Palsson (eds.), Nature and society: anthropological perspectives. London: Routledge London. http://lucy.ukc.ac.uk/Rainforest/cog_intro.html, diakses 3 Juni 2007.
Langhein, J. (2001). Proportion and Traditional Architecture. http://www.intbau.org/ essay10.htm diakses 3 Juni 2007.
Mandelbrot, B. Fractals - A Geometry of Nature.
http://www.fortunecity.com/emachines/e11/86/mandel.html diakses 3 Juni 2007.

Artikel Terkait