KEBUDAYAAN, FILSAFAT, DAN SENI

KEBUDAYAAN atau kultur adalah salah satu dari dua atau tiga istilah paling rumit dalam bahasa Inggris, kata Raymond Williams. Meskipun demikian, yang menarik adalah istilah itu kini bukan lagi monopoli antropologi. Ia telah menjadi salah satu kategori yang paling umum digunakan banyak pihak meski dalam berbagai arti yang berbeda-beda. Dalam hal ini, popularitasnya berjajaran dengan kategori macam gravitasi dalam fisika, penyakit dalam kedokteran, atau evolusi dalam biologi. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bahwa sejak pertengahan abad 20 hingga awal milenium ketiga ini kebudayaan menjadi pusat gravitasi bidang filsafat juga.
Refleksi di wilayah filsafat ini, khususnya fenomenologi dan hermeneutik, membawa konsekuensi radikal dan jauh dalam mengubah persepsi tentang "kebudayaan" yang sering tidak disadari bahkan oleh mereka yang berkecimpung di bidang antropologi sekalipun.

Kebudayaan

Kebudayaan atau kultur adalah konsep yang telah sangat tua. Kata latinnya, cultura, menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak. Istilah itu selanjutnya telah berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Berkembang lebih lanjut, ia menjadi multidimensi bersama dengan munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya sejak abad 17 hingga 19.

Baru di awal abad 20 (sekitar 1920-an) konsep kebudayaan masuk ke wilayah antropologi, terutama melalui pemikiran Frans Boas, yang kemudian membawa kecenderungan umum untuk melihat kebudayaan secara pluralistik dan non- evaluatif. Lantas dalam pengertian modern istilah kebudayaan lebih berkembang lagi dan semakin kompleks melalui para tokoh macam Gehlen, Bennett, Herskovitz, Mead, Levi-Strauss, Geetrz, James Clifford, hingga Raymond Williams.

Akhirnya, konsep itu kini bahkan keluar dari batas wilayah antropologi dan masuk ke bidang studi sejarah, politik, kajian sastra, ekologi, kajian tentang perdamaian, dan terutama menggumpal dalam sosok interdisipliner "cultural studies", di mana komik Superman atau musik rap, misalnya, dilihat berebut pengaruh dengan retorika para tokoh politik atau dengan karya sastra "tinggi".

Meskipun pengertian kebudayaan kini telah menjadi sedemikian luas, toh ada beberapa tendensi umum yang terus-menerus berlaku dalam pemahaman modern atas kebudayaan itu, yang sebetulnya kini telah menjadi problematis setelah kemunculan fenomenologi dan hermeneutik. Pertama, tendensi untuk memandang kebudayaan sebagai sistem makna secara sinkronik dan a-historis.

Kalaupun sejarah dilihat di sana, maka itu potongan-potongan tertentu saja sejauh relevan dalam penyelidikan makna beserta konteksnya. Kedua, kebudayaan selalu dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan konsistensi dan integrasi antarunsurnya, kendati kompleks. Ketiga, kebudayaan dipahami sebagai semacam konsensus sosial tentang kepercayaan, sikap dasar, dan disposisi yang tepat (R Benedict). Dengan demikian, kebudayaan sekaligus juga dianggap sebagai prinsip utama tatanan sosial.

Fenomenologi dan hermeneutik

Pola berpikir modern, terutama dalam kerangka epistemologi dan kiprah keilmuannya, lama memandang realitas dalam kerangka dualisme subyek-obyek. Manusia, terutama akal budinya, dilihat sebagai subyek yang terpisah dari dunia obyektif luarnya.

Subyek diletakkan berhadapan dengan dunia obyektif itu dan siap membuat "representasi obyektif" tentangnya, untuk kemudian memperlakukannya secara rasional dan instrumental. Masalahnya adalah kerangka epistemologi modern yang dualistis ini menjadi tak lagi meyakinkan sejak tampilnya fenomenologi dari Husserl, yang oleh Heidegger ditarik ke wilayah lebih radikal, yaitu ke paradigma hermeneutik.

Memang masa popularitas fenomenologi telah lewat. Sebagai mode ia telah kedaluwarsa. Namun, konsekuensi jauh yang diakibatkannya tidaklah demikian cepat disadari, bahkan hingga hari ini. Termasuk dalam pembahasan tentang kebudayaan.

Fenomenologi Husserl sebetulnya sangat pelik dan tak terlalu relevan untuk dijelaskan secara rinci dalam artikel ini. Yang penting di sini adalah dua konsep sentral Husserl, yaitu tentang Lebenswelt dan "intensionalitas". Itu pun demi efisiensi ruang terpaksa disederhanakan saja.

Lebenswelt adalah aliran kehidupan langsung yang belum kita refleksikan, medan multiformitas pengalaman, proses hidup yang senantiasa berdenyut dan kita alami namun tidak sangat jelas bentuknya, nyaris amorf karena kompleksitasnya. Lebenswelt ini adalah dunia eksistensial dan eksperiensial nyata yang mendahului pemilahan abstrak subyek- obyek beserta segala konstruksi ilmiah ikutannya. Dari sini didapatkan bahwa yang biasa dianggap sebagai "representasi-obyektif" di bidang ilmiah sebetulnya lebih tepat dilihat sebagai salah satu "interpretasi" saja atas dunia pengalaman itu, di antara banyak kemungkinan interpretasi lain.

Di kemudian hari, Heidegger melanjutkan pemikiran ini dan menariknya pada konsekuensi lebih jauh. Baginya Lebenswelt tak lain adalah medan eksistensi, yaitu realitas (being), yang tampil dalam sejarah dan hidup bersama. Pandangan ini mengakibatkan dunia filsafat menjadi lebih tegas berkiblat pada dunia pengalaman konkret manusia, dalam masyarakat, tradisi dan kebudayaan.

Bentuk awal dari tendensi ini adalah eksistensialisme. Adapun berbagai bentuk postmodernisme hanyalah gema selanjutnya dari sana, semacam radikalisasi daripadanya. Konsep kedua adalah "intensionalitas" yang kurang lebih berbunyi bahwa kesadaran tak pernah sedemikian mandiri dan terlepas dari realitas di luarnya. Kesadaran selalu kesadaran "tentang sesuatu". Sebaliknya, realitas yang kita katakan selalu merupakan realitas versi kesadaran. Ada interdependensi yang inheren antara kesadaran dan realitas itu.

Lalu Heidegger juga melanjutkan hal ini. Baginya segala bentuk "representasi" tentang realitas yang kita buat sebetulnya dimungkinkan justru karena kita sudah selalu terhubung dengan realitas itu. Teori-teori abstrak tentang pohon, misalnya, dimungkinkan kita buat karena dalam kehidupan nyata kita sudah selalu terkait dan bergaul dengan pohon.

Pada titik ini ambisi epistemologi modern untuk mencari fondasi terdasar dan terkuat bagi pengetahuan, misalnya, menjadi mustahil. Setiap upaya untuk mengartikulasikan lapisan dasar pergaulan kita dengan realitas akan mengandaikan suatu horizon keterkaitan non- eksplisit lain dengan dunia. Begitu seterusnya.

Jalur yang kemudian hari dikenal dengan nama hermeneutik ini sebetulnya membawa konsekuensi lumayan radikal terhadap pemahaman tentang kebudayaan, sejarah, tradisi, dan identitas. Ini baru bisa disadari kalau hermeneutik tidak dilihat hanya sebagai metode (dengan "hermeneutic-circle" klasiknya yang sekadar melihat keterkaitan timbal-balik antara bagian dan keseluruhan, dsb), melainkan sebagai paradigma filsafati, sebagai "hermeneutika filosofis".

Beberapa perubahan fundamental yang ditimbulkan olehnya, antara lain adalah: pertama, sejak itu yang menjadi pusat gravitasi keilmuan bukanlah subyektivitas ataupun obyektivitas melainkan "realitas", Lebenswelt, dengan kompleksitas dan inekshaustibilitasnya.

Realitas pengalaman di mana subyektivitas dan obyektivitas sebetulnya lebur. Kedua, kata kunci yang penting bukan lagi "substansi" atau "esensi", melainkan "relasionalitas". Ketiga, segala klaim tentang realitas hanyalah interpretasi tentangnya, bukan representasi satu banding satu. Keempat, realitas adalah proses yang historis dan berkesinambungan, bukan suatu sistem total yang ahistoris. Kelima, konstruksi-konstruksi linguistik dianggap sebagai akses penting untuk memahami realitas itu.

Keenam, kebenaran bukan lagi soal proposisi yang telah terjustifikasi (justified proposition), pernyataan yang terjamin (warranted assertibility) ataupun korelasi obyektif antara inner dan outer, melainkan perkara tindakan. Kebenaran adalah tersingkapnya (disclosure) kemungkinan yang lebih kompleks untuk mengada dan bertindak. Penggunaan kerangka berpikir semacam ini bagi pembahasan tentang kebudayaan, tradisi, identitas, serta posisi filsafat, dan seni di dalamnya bisa membawa kita pada cara pandang yang sungguh lain.

Redefinisi kebudayaan

Akibat dari pergeseran paradigma macam itu, kini pendekatan yang memahami kebudayaan secara sistemis dan a- historik tidak lagi meyakinkan. Akan lebih strategis memandang kebudayaan sebagai proses pertukaran dan proses pengaruh-mempengaruhi dalam sejarah yang kompleks. Kebudayaan adalah gambaran sementara dan imajinatif tentang persilangan-persilangan dari berbagai aliran.

Sebagai aliran, yang primer adalah aliran itu, bukan gambarnya. Gambarnya sebagai bentuk abstrak, sedangkan gagasan dan konsep adalah sekunder. Sebagai aliran yang dinamis dan hidup, setiap kebudayaan memiliki prinsip perubahan intern sendiri. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang keterkaitan satu sama lainnya sangatlah longgar sehingga setiap kali mudah dibongkar dan ditata kembali sesuai dengan lingkungan yang berubah.

Misalnya, ketika kepercayaan dan nilai tak lagi bersambungan, politik berada dalam tegangan antarberbagai oposisi, atau makna-makna baru mensubversi yang lama, dan seterusnya. Dalam hal ini kebudayaan memiliki unsur ketidaktentuannya sendiri, tekanan-tekanan, konflik, dan improvisasi internnya sendiri.

Ia adalah proses tuntutan dan tuntutan tandingan, proses perubahan respons dan penemuan ungkapan-ungkapan baru. Ia juga merupakan pergumulan kekuasaan, terutama kekuasaan pemaknaan atas hal-hal penting dalam hidup, seperti atas soal jender, hak milik pribadi, dan hak asasi Maka, kebudayaan juga merupakan kemampuan untuk memperbarui dan menata ulang secara kreatif, proses transmisi dan transformasi, berdasarkan pada kondisi yang ada dan kemungkinan yang tersedia.

Kebudayaan bukanlah suatu sistem tertutup. Hubungannya dengan suatu komunitas sosial tidaklah mesti satu banding satu. Kebudayaan bisa melintasi batas-batas geopolitis. Dari sudut kebudayaan, berbagai negara bisa saling tumpang tindih, sekurang-kurangnya dari aspek-aspek tertentu. Dari sisi tertentu, misalnya, Indonesia, Malaysia, dan Singapura berasal dari rumpun kebudayaan yang sama.

Dari sudut lain, orang Cina di negeri Cina, Amerika atau Indonesia, mungkin saja memiliki unsur budaya yang sama. Bahkan kini muncul kebudayaan-kebudayaan yang bersifat transnasional macam pop-culture, atau cyber-culture, misalnya. Dalam sejarah, pengidentifikasian antara kebudayaan dan unit total masyarakat tertentu sering kali bersifat politis. Ia digunakan untuk melegitimasi pembentukan sebuah negara bangsa.

Tidaklah mengherankan karenanya bila keterkaitan antara konsep keindonesiaan dalam konteks politik dengan keindonesiaan dalam wilayah kultural, misalnya, juga selalu mudah diperkarakan kembali. Ia terasa rentan dan sebetulnya memang rapuh, terutama manakala politik sedang dalam tegangan dan konflik seperti saat ini.

Hari-hari ini, terutama ketika suatu komunitas terancam permainan kekuasaan politik pada tingkat global, kebutuhan untuk menekankan keunikan atau bahkan keunggulan kebudayaan bermunculan, kerap agak berlebihan. Dalam hal ini bila Huntington cenderung berpikir bahwa persoalan-persoalan politis sebetulnya adalah perkara kultural (peradaban), barangkali lebih tepat kita berpikir justru sebaliknya: bahwa persoalan-persoalan yang kita anggap "kultural" sering kali hanyalah persoalan politis.

Di sini "kebudayaan" berperan hanya sebagai referensi bersama untuk sementara bagi perjuangan politis tertentu, bahkan tanpa mesti disertai pemahaman yang sama sekalipun tentangnya. Namun, dengan ini tidak juga berarti bahwa kebudayaan pada dasarnya memang merupakan prinsip utama tatanan sosial. Dalam kenyataan tatanan sosial tak mesti sangat ditentukan oleh kebudayaan. Ia bisa dicekokkan lewat teknik-teknik pengawasan, penggunaan teror secara sistematik, sistem ekonomi yang efektif, institusi pendidikan atau media komunikasi massa.

Kalaupun kita bersikukuh hendak menekankan keunikan, keunikan suatu kebudayaan mestinya dilihat dalam kenyataan bahwa ia adalah manifestasi lokal dari berbagai persilangan dan pertukaran. Yang khas di situ adalah cara bagaimana berbagai unsur kebudayaan yang sebetulnya umum itu digunakan, diolah, dan diubah. Ia unik dalam arti: proses sekunder pengambilalihan dan pengadopsian hal-hal yang ditemukan atau dipinjam.

Dimana-mana kebudayaan terbentuk dari saling pinjam-meminjam dan pengaruh-mempengaruhi. Bila kita hendak tetap memandang kebudayaan sebagai suatu totalitas, kita bisa menggunakan beberapa analogi. Salah satunya adalah figur gurita (meminjam dari Geertz). Kebudayaan bagai seekor gurita, yang sebagian dari tangan-tangannya menyatu pada suatu tubuh, sebagian lain lepas dan otonom. Di situ bisa dilihat dimensi sosial dan dimensi personal.

Kesalingterkaitan antarkomponen suatu kebudayaan tampil dalam interaksi sosialnya. Namun, konfigurasi paling mengesankan kebudayaan itu terdapat pada para individunya. Dalam peristiwa hubungan-hubungan personallah, yaitu hubungan dengan berbagai tangan gurita itu, bentuk paling hidup dan real suatu kebudayaan bisa ditangkap dan dirasakan.

Analogi lain adalah sistem kebahasaan. Di satu pihak kebudayaan adalah sesuatu yang telah berbentuk tertentu, yaitu ibarat sistem kosakata dan gramatika baku, pola-pola dasar yang bisa saja dianggap semacam core value suatu kebudayaan dalam konotasi Huntingtonian. Di pihak lain nilai dan makna terdalam suatu kebudayaan hanya tampil secara konkret sebetulnya pada fenomena sehari-hari, ibarat penggunaan sehari-hari suatu bahasa, yang sebetulnya plural, personal, parsial, elusif, dan tak pasti.

Dari analogi-analogi tersebut kita dapatkan bahwa kalaupun suatu kebudayaan hendak dilihat sebagai suatu totalitas, maka totalitas itu merupakan suatu keseluruhan yang selalu retak, mengandung perbedaan-perbedaan dan kontradiksi intern, perebutan pengaruh antar berbagai unsurnya, serta mengisyaratkan alternatif-alternatifnya sendiri.

Hubungan dialogis interkultural

Dialog atau komunikasi sebetulnya adalah proses koordinasi perilaku, melalui "bahasa" (arti luas), yang melibatkan koreografi kompleks antara gagasan, emosi, dan gerakan tubuh. Ia adalah proses sinkronisasi sangat pelik antara pola-pola bicara dan mendengar, dalam gerakan rinci tiap sekuensinya. Di sana kedua peserta dialog saling merajut dan merajut kembali jaringan-jaringan konseptualnya secara berkelanjutan. Pikiran, emosi, simbol, dan kesadaran diri setiap kali dibongkar ataupun ditata kembali.
Dalam dialog itu terjadi interogasi-diri timbal balik, semacam kritik-diri. Dialog tak mesti merupakan proses proyeksi pendapat kita pribadi seolah kita tak pernah bisa keluar dari perspektif kita sendiri. Sebaliknya, ia mampu pula menyingkapkan aspek-aspek tak manusiawi dan tak dikehendaki yang tersembunyi dalam sistem nilai dan perilaku kita.

Dalam interaksi macam itu, karenanya, mau tak mau selalu ada semacam proses perbandingan. Dari situ kita dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami dan menafsirkan tradisi kebudayaan kita, juga cara-cara baru untuk merumuskan diri dan sejarah pribadi (Gadamer).

Modernisasi berperan sangat penting dalam memperluas dan memperdalam kemungkinan hubungan dialogis interkultural, dalam memupuk otonomi individu sehubungan dengan tradisi, maka juga dalam membentuk prisma refleksi personal di atas tradisi (kebalikan dari situasi pramodern, di mana tradisilah yang mengontrol refleksi personal).

Meskipun begitu, proses seleksi dan adaptasi unsur-unsur kultural dari satu sama lain yang terjadi dalam modernisasi tidaklah bisa dibayangkan seakan dengan sendirinya akan terintegrasi kembali pada core value kebudayaan masing-masing seperti dicanangkan Huntington. Melainkan bisa saja ia lebih menyerupai proses deterritorialisasi makna dan nilai Deleuzian, proses ramifikasi yang rumit dan tak terduga, yang pada gilirannya bahkan mungkin saja mengubah nilai-nilai-dasar (core value) kebudayaan tersebut.

Identitas

Sebagai agen tindakan, masing-masing kita adalah entitas otonom yang ditandai dengan subyektivitas, suatu integritas mental-fisik dengan kemampuan membentuk nilai-nilai dan berdasarkan pada hal itu membuat penilaian-penilaian pribadi. Meskipun begitu, isi dari identitas kita sebenarnya hanya muncul seserpih-seserpih dalam berbagai bentuk hubungan dialogis dengan yang lain. Sedemikian menentukan hubungan-hubungan itu sehingga kita bahkan dapat mengatakan bahwa hubungan-hubunganlah yang menciptakan subyektivitas kita. Dari sisi ini, hubungan mendahului identitas-diri, dan bukan sebaliknya.

Kita adalah segenap potensialitas yang kita miliki. Yang kita sebut "kodrat manusia" pun sebenarnya adalah interpretasi dan konstruksi manusia, berdasarkan hubungan-hubungan. Lewat penciptaan pasangan-pasangan struktural dalam hubungan dialogis, kita menafsir dan membentuk konsep tentang "kodrat" manusia, terutama dari perbandingannya dengan apa yang bukan kita.

Namun, karena kemampuan utama khas manusia adalah bahasa, makna-makna hubungan itu umumnya diartikulasikan dalam konseptualisasi diskursif, alias dalam wacana. Dalam dan melalui wacanalah kita merumuskan diri, mengevaluasi diri, dan memutuskan bagaimana kita melihat dan merasa.

Melalui wacana kita membentuk dan memahami identitas diri. Wacana adalah layar di mana kita diimajinasikan dan direpresentasikan (diinterpretasikan) kepada diri sendiri.

Masalahnya adalah bahwa dalam kenyataan berbagai bentuk representasi tentang kita diciptakan oleh demikian banyak pihak dan untuk berbagai kepentingan. Itu bisa demi kepentingan politis, komersial, filosofis, religius, artistik; atau berdasarkan jender, kelas sosial, pendapatan, dan orientasi politis.

Representasi itu tak selalu adil dan fair. Ia bisa menyita kedalaman dan kekayaan eksistensial kita atas nama suatu wacana intelektual yang dicangkokan secara sepihak (Spivak). Maka, masalah identitas kerap berhubungan erat dengan tendensi hegemonik dalam politik representasi (R Williams), dan sebetulnya tiap bentuk representasi selalulah bersifat "aspektual". Ia hanya mewakili aspek-aspek tertentu saja dari aliran realitas eksistensial kita.

Tak pernah sungguh-sungguh menampilkan secara ekshaustif realitas itu. Di pihak lain, tingkat otoritas yang dikandungnya mampu menciptakan kesadaran-palsu tentang siapa kita dan apa itu kenyataan.

Identitas diri barangkali lebih tepat dilihat sebagai produk sementara dari pertukaran dialogis-kritis dengan berbagai "teks" lain yang berlangsung terus. Ia adalah sintesis-sintesis sekunder dan mudah berubah dari multiplisitas primer hubungan-hubungan.

Strategi kebudayaan

Kebudayaan kini menghadapi tantangan intern maupun ekstern. Tantangan intern adalah pertama, ketidakpahaman akan tradisi dan sejarah. Kedua, ketidaksadaran akan karakter fiktif kesadaran-diri kita, yaitu ketidaksadaran atas perbedaan signifikan yang terkandung bahkan di dalam kerangka-pandang kultural kita sendiri, dan atas kesenjangan antara visi ideal normatif tentang diri kita dengan kenyataan diri kita yang jauh lebih ambigu dan pelik.

Tantangan ekstern sekurang- kurangnya pertama, kita menghadapi politik representasi yang multifaset, yang membentuk identitas kita secara hegemonik dan tak adil. Kedua, kita dihadapkan pada kemungkinan yang jauh lebih luas untuk melakukan transaksi-transaksi kultural, sebab setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan kita, kini tersedia untuk dijadikan pilihan atau pun acuan.

Meskipun pada dasarnya identitas kita terletak pada hubungan yang berkelanjutan, suatu proses yang nomadik, dalam menghadapi tantangan-tantangan itu dasar pijakan yang kokoh bukannya tak diperlukan. Pada titik ini pengintegrasian masa lalu kita sangatlah penting.

Namun, masa lalu itu penting dan berharga bukan karena ia adalah konfigurasi sistem-sistem kita yang sangat khas dan unik tanpa tanding; bukan karena ia adalah gudang penyimpanan kekayaan kultural antik atau album prestasi tinggi kita di masa lalu; bukan pula karena ia adalah manifestasi sejarah penentuan-diri kita yang otonom.

Masa lalu itu berharga dan penting sebab ia adalah bahan atau unsur-unsur yang telah membentuk kesadaran kita; adalah akar ketaksadaran kolektif perilaku dan nilai-nilai kita; adalah simbol- simbol yang telah menyingkapkan makna kehidupan dalam ruang dan waktu bagi kita; tetapi juga adalah jenis rasionalitas khas yang telah membuat hidup jadi bisa dipahami.

Cengkeraman substantif atas horizon masa lalu yang telah membentuk kita itulah yang akan memungkinkan kita menafsir dan menciptakan ulang kehidupan kita, dan yang akan membuat relasi-relasi dialogis kita menjadi lebih kaya, subur, dan otentik. Akan tetapi, di sisi lain sikap dasar keterbukaan pun tak bisa dielakkan bila kita memang hendak mengembangkan potensi kita sebagai makhluk yang senantiasa terarah kepada "yang lain", a being for others.

Pada titik ini kita itu otentik hanya bila makin terbuka pada kreativitas relasi manusiawi, yang arah dan hasilnya sesungguhnya tak terduga dan tak pernah sungguh terbayangkan; tetapi juga bila kita selalu waspada dan kritis atas berbagai bentuk distorsi atas relasi itu.

Peran filsafat dan seni sebagai strategi kebudayaan dalam proses peziarahan manusia itu sangatlah penting dan unik. Pertama, filsafat maupun seni mampu menyingkapkan ambiguitas dan kompleksitas dunia manusia alias Lebenswelt: dinamika dan gerakan-gerakannya yang hidup, konflik dan kontradiksi-kontradiksinya yang sering tersembunyi, penderitaan dan kerinduan-kerinduannya, maupun aspek "keperistiwaan" dan "kemengaliran"nya (eventful and fleeting characters).

Kedua, dengan cara itu filsafat dan seni akan sangat membantu dalam memetakan kembali setiap kali persoalan eksistensial terselubung di balik kehidupan kita sehari-hari. Pada gilirannya ini akan merintis jalan ke arah perumusan ulang apa yang sesungguhnya kita kehendaki dan tidak kita kehendaki dan membuka kemungkinan baru untuk memahami kemanusiaan kita. Ketiga, dalam hal itu filsafat dan seni berfungsi sebagai nurani kebudayaan.

Dengan memetakan ulang kehidupan kita, mereka juga membantu kita merumuskan hipotesis baru tentang apa sebetulnya panggilan terdalam hidup kita, membantu mengejawantahkan kebebasan kita ke tingkat paling tinggi, yaitu ke arah tanggung jawab moral. Keempat, filsafat dan seni, dengan kemampuannya merogoh pengalaman-pengalaman konkret sehari-hari, akhirnya juga mampu menyingkapkan kedalaman universal pengalaman manusia, keterikatan tak terlihat antarmanusia yang memungkinkan solidaritas lebih luas dan lebih besar.

Artikel Terkait